Oleh Agus Utomo, SSos, MM
Analis Kebijakan Ahli Madya Setda Prov Jateng
SAMPAH sampai saat ini menjadi masalah dan lebih sering dianggap sebagai barang tidak berguna dan harus dibuang. Ini sebenarnya pandangan yang kliru jika manusia memahami dan menyadari betapa sampah mempunyai harga meski juga bisa merusak lingkungan.
Bila dibuang sembarangan, sampah akan menjadi sumber pencemaran lingkungan dan sumber penyakit; bahkan bila dibuang pada tempatnya pun bukan berarti masalah terselesaikan, karena timbul permasalahan baru pada tempat pembuangan akhir.
Oleh karena itu, persepsi tentang sampah harus berubah; dari yang harus dibuang menjadi sesuatu yang dapat dimanfaatkan.
Pengelolaan sampah secara komprehensif dari hulu ke hilir.
Pengelolaan sampah selama ini belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan, sehingga menimbulkan dampak negatif. Selama ini masih menggunakan paradigma lama, yaitu Kumpul – Angkut – Buang.
Sehingga belum memberi nilai ekonomis. Bahkan sampah telah menjadi permasalahan nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberi manfaat serta dapat mengubah perilaku masyarakat “tidak lagi nyampah”.
“Perilaku nyampah” inilah yang mengundang keprihatinan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo ketika melihat sendiri beragam sampah dibuang berserakan di pinggiran jalan tol di Jawa Tengah saat pemantauan mudik dan balik Idul Fitri bulan Juni 2019 lalu.
Inisiasi Ganjar lalu muncul perlunya diselenggarakan Kongres Sampah yang akan dihelat Sabtu-Minggu 12-13 Oktober 2019 di Kesongo Culture sekitar Danau Rawapening.
Sebanyak 1.000 peserta dihadirkan meliputi unsur pemerintah, dunia usaha, pelajar mahasiswa hingga komunitas. Sharing pengalaman dan diskusi dibangun melalui lima komisi untuk menyatukan Visi “Sampah Membawa Berkah” yang sekaligus menjadi tema besarnya.
Gubernur Jateng dalam dialog interaktif Pra Kongres Sampah yang disiarkan TVRI Selasa sore (8/10) menegaskan, bahwa Penanganan sampah sama dengan menangani air, lintas wilayah.
Maka pengelolaannya harus regional tidak boleh teritorial birokratik, dan perlu sinergi antar pemerintah daerah. Dicontohkan seperti membuang sampah di kali, sampahnya akan terbawa arus air dan berpindah antar wilayah. Atau warga dari wilayah lain melintas jalan ke wilayah lainnya dan membuang sampah di wilayah yang ia lalui. Kan tidak mungkin kita membiarkan sampah yang dibuang itu tanpa kita peduli membersihkannya.
Selain itu, dalam pengelolaan sampah diperlukan kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan Pemerintah, pemerintah daerah, serta peran masyarakat dan dunia usaha, sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif, dan efisien.
Melalui Kongres Sampah inilah soal teknis dan sosial pengelolaan sampah dibahas dan dirumuskan dalam persidangan yang dibagi 5 (lima) komisi. Komisi I membahas tema “Sampah Sebagai Komoditas Ramah Lingkungan”; Komisi II “Pengembangan Ilmu dan Teknologi Penanganan Sampah”; Komisi III "Regulasi, Kebijakan dan Program Penanganan Sampah Yang Ramah Lingkungan”; Komisi IV “Penguatan Konsolidasi dan Sinergi Pemangku Kepentingan Persampahan”; dan Komisi V membahas “Gerakan Anti Sampah Non-Organik”.
Goal yang akan dihasilkan dari kongres sampah ini, adalah “Gerakan Bersama” mewujudkan lingkungan bersih bebas sampah; menyusun Grand Desain Pengelolaan Sampah di Jawa Tengah; dan merekomendasikan Pola Pengeloaan Sampah Nasional Terpadu.
Gaya Hidup Zero Waste, Mengapa tidak ?
Saat ini, sampah plastik menjadi masalah serius yang mengancam keselamatan Bumi. Berdasarkan studi yang dirilis oleh McKinsey and Co. dan Ocean Conservancy, Indonesia sebagai negara penghasil sampah plastik nomor dua di dunia setelah Cina.
Banyaknya produksi sampah, terutama plastik yang dikirim ke lautan Indonesia, secara langsung ikut menjadikan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai kawasan kotor dan penuh sampah. Apalagi, dari hasil penelitian, didapatkan fakta bahwa sampah yang ada di kawasan pesisir didominasi oleh plastik dengan prosentase antara 36 hingga 38 persen (tirto.id/Andrey Gromico)
Produksi sampah plastik memang tak mungkin enyah begitu saja, namun sangat bisa untuk dikurangi melalui gaya hidup zero waste. Hal itu bisa dilakukan dengan memanfaatkan kembali produk-produk yang ada.
“SAMPAH MEMBAWA BERKAH”, adalah semangat Zero waste, yaitu pola pengelolaan sampah dengan mendaur ulang secara berkelanjutan. Sampah awal (tas kresek, plastik pembungkus makanan, bekas botol aqua, sedotan plastik bisa didaur ulang menjadi tas jinjing.
Pada masanya tas jinjing rusak dan tidak dipakai lagi lalu menjadi sampah baru, di daur ulang lagi menghasilkan produk daur ulang baru, dimanfaatkan lagi, menjadi sampah baru hasil daur ulang, di daur ulang lagi dan seterusnya tanpa henti.
Siklus sampah dan ekonomi daur ulang sampah inilah bisa menjadi model bisnis yang mempertahankan nilai produk agar dapat digunakan berulang-ulang tanpa menjadi sampah.
Sisi lain juga menjadi peluang pekerjaan dan pendapatan baru yang halal.
Jepang butuh 50 tahun mewujudkan lingkungan bersih bebas sampah. Swedia menggunakan kartu ATM nabung sampah siap angkut lengkap alamat posisi sampah berada. Singapura menerapkan hukuman bagi pembuang sampah sembarangan bisa ditahan dan tidak bisa pulang rumah.
Apakah Indonesia, khususnya Jawa Tengah perlu puluhan tahun menerapkan cara seperti di Jepang dan Swedia? Atau menerapkan hukuman seperti di Singapura? Rasanya tidak! Melalui kongres sampah, ayo kita ubah bersama “fenomena sampah pembawa musibah” menjadi “Sampah Membawa Berkah”. (*)
Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul Opini Agus Utomo : Sampah Membawa Berkah.